- Back to Home »
- RELIGION »
- Contoh Ceramah Ramadhan
Contoh Ceramah Ramadhan
HIJRAH DITINJAU DARI DIMENSI ROHANI
PENDAHULUAN
Pengertian hijrah menurut bahasa/etimologi adalah berpindah dari tempat
yang satu ke tempat berikutnya. Sedangkan menurut arti
istilah/terminologi adalah berpindah dari satu medan juang yang sempit
(karena terdesak oleh situasi keamanan yang tidak kondusif) menuju ke
arena yang lebih luas dan memberikan harapan di masa mendatang, di mana
hal ini merupakan suatu taktik dan strategi dalam perjuangan untuk
menyampaikan risalah/dakwah Islamiyah.
HAKIKAT HIJRAH NABI
Banyak komentar tentang hal ini dari kalangan ilmuan Barat, bahwa
hijrahnya Nabi Muhammad itu adalah sebagai usaha to be differentmen
(mengubah dari wajah seorang guru agama di Mekkah menjadi kepala suku di
Madinah). Adalagi yang memandangnya sebagai transfiguration (penanjakan
pribadi Muhammad) atau sebagai geographical emigration (perpindahan
tempat untuk berdakwah). Bahkan ada pula yang dengan nada ‘sinis’
mengatakan bahwa hijrah ini adalah flaight or own flaight (lari atau
melarikan diri). Dan masih banyak lagi komentar tentang hijrahnya
Rasulullah tersebut, khususnya dari kalangan orang-orang yang tidak
senang dengan perjuangan beliau.
Syekh Muhammad Syaltut (mantan rektor Universitas al-Azhar Kairo)
mengatakan bahwa hijrahnya Rasulullah beserta para sahabatnya itu
bukanlah upaya lari untuk menyelamatkan diri dan bukan pula karena tidak
mampu menghadapi kekuatan musuh yang besar atau untuk mencari serta
menumpuk kekayaan dan mengejar kedudukan dan kekuasaan, tetapi hijrah
ini mereka lakukan sebagai kelanjutan dari hijrah nurani/hijrah
qalbiyah untuk mempertahankan ideologi dalam rangka menegakkan kebenaran
dan mengaktualisasikan akhlaqul karimah serta menghancurkan kebatilan.
Senada dengan pendapat ini adalah apa yang dikemukakan Dr. Muhammad
al-Fahlan yang mengatakan bahwa hijrah Nabi bukan melarikan diri dari
medan juang, dan bukan pula semata berpindah dari satu negeri ke negeri
yang lain, tetapi beliau berpindah menjauhkan diri dari bumi yang penuh
kemusyrikan, bumi yang diperintah oleh kejahilan, kejahatan, dan
kekejaman, menuju suatu tempat/bumi yang akan memancarkan sinar
kebenaran, sinar keimanan, suatu upaya revolusioner untuk menebar cahaya
iman untuk menerangi kegelapan jiwa, memberantas segenap kekejaman dan
kezaliman.
HIJRAH DALAM AL-QUR’AN
Dalam Al-Qur’an tidak kurang dari tigapuluh ayat yang menyebut kata
hijrah. Ayat-ayat tersebut menjelaskan dan menafsirkan makna hijrah itu
sendiri sebagai sebuah solusi terakhir yang harus dilakukan manakala
tidak lagi ditemukan cara atau jalan lain untuk melanjutkan misi dakwah
dan atau mempertahankan keimanan. Hijrah dilakukan harus dengan penuh
perhitungan, tidak hanya semata-mata karena terdesak situasi daerah yang
akan ditinggalkan, akan tetapi daerah yang menjadi tujuan juga haruslah
daerah yang memberikan harapan bagi cita-cita dan perjuangan,
sebagaimana yang dilakukan Rasulullah dan para sahabatnya 14 abad silam.
Dalam Al-Qur’an, Allah memberi jaminan dan janji baik bagi
mereka-mereka yang melakukan hijrah itu dengan ampunan dan syurga.
Allah berfirman:
فالذين هاجروا وأخرجوا من ديارهم وأوذوا فى سبيلى وقاتلوا وقتلوا لأكفرن
عنهم سيئاتهم ولأدخلنهم جنات تجرى من تحتها الأنهار (ال عمران: 195)
“Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya,
yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah
akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan
mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya ... “
(Q.S. Ali Imran: 195).
Dalam surat an-Nahl: 41, Allah swt. berfirman:
والذين هاجروا فى الله من بعد ما ظلموا لنبوئنهم فى الدنيا حسنة ولأجر الآخرة أكبر لو كانوا يعلمون (النحل: 41)
“Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya,
pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia dan
sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka
mengatahui.”
Dalam ayat 110 surat yang sama disebutkan pula:
ثم إن ربك للذين هاجروا من بعد ما فتنوا ثم جاهدوا وصبروا إن ربك من بعدها لغفور رحيم . (النحل: 110)
“Dan sesungguhnya Tuhanmu (Pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah
sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar,
sesungguhnya Tuhanmu setelah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.
Ayat-ayat di atas telah menjelaskan sebab-sebab dan motivasi hijrah.
Dari ayat-ayat tersebut ditandaskan dengan jelas beberapa unsur dan
kondisi yang memungkinkan atau memperbolehkan kita untuk hijrah.
Unsur-unsur tersebut antara lain; unsur pengusiran; unsur penyiksaan;
unsur penganiayaan; dan unsur fitnahan.
Tindak kekejaman yang dilakukan rezim Quraisy di Mekkah dan para
Kuffar di sekitarnya telah mencapai puncak dan melewat batas toleransi;
yakni terancamnya ketenteraman rohani dan jasmani. Maka pada kondisi
inilah perintah hijrah turun kepada Nabi saw. Dengan kata lain, apabila
seseorang tidak lagi memperoleh kebebasan, tidak lagi merdeka atau
leluasa dalam menyebarkan dan mengmebangkan syariat Islam di mana ia
berada, maka barulah hijrah itu boleh dilakukan.
Dalam menghindari siksaan, penganiayaan, dan fitnahan dalam menyebarkan
dakwah islamiyah di Mekka Rasulullah juga pernah mengajak para sahabat
untuk hijrah ke negeri Habasyah dan ke Thaif. Walaupun banyak halangan
dan rintangan dalam menjalankan dakwahnya, Rasulullah tetap tidak pernah
berhenti, bahkan kobaran semangat juangnya itu ikut tumbuh membara di
dada para sahabat. Hal ini dapat dilihat ketika upaya tekanan dari
masyarakat Mekkah semakin kuat, para sahabat secara diam-diam
memperkenalkan Islam kepada orang-orang Yastrib. Seorang da’i muda
bernama Mus’ab bin Umair dikirim untuk mendampingi para sahabat itu. Dan
dari sinilah akhirnya peduduk Madinah berduyun-duyun memeluk agama
Islam.
ASPEK RUHANIAH DALAM PERISTIWA HIJRAH
Tahap demi tahap perkembangan situasi orang-orang Madinah ini lebih
tampak dan jelas memberikan sambutan dengan lebih cepatnya mereka itu
menerima ajaran Islam, sehingga hanya dalam kurun beberapa tahun saja
(pada tahun 622 M) terwujudlah suatu perjanjian antara Nabi beserta para
sahabatnya di Mekkah dengan Kabilah Aus dan Kabilah Khazraj, di mana
kedua belah pihak berjanji akan saling membela jiika ada penyerangan
dari pihak luar, dan akan membagi suka dan duka. Perjanjian yang dibuat
secara rahasia ini akhirnya sampai juga ke telinga orang-orang Quraisy.
Akibatnya, orang-orang Yastrib yang datang ke Mekkah terus ditangkapi
dan disiksa. Dan terhadap Nabi beserta sahabat-sahabatnya diteror terus
menerus, baik secara fisik maupun mental. Hal ini disebabkan oleh
kekhawatiran orang Quraisy jika nantinya perjanjian antara Nabi dan
penduduk Yastrib tersebut betul-betul berjalan secara efektif, yang
tentunya akan merugikan kelompok Quraisy secara politis.
Pada hakikatnya, Rasulullah beserta para sahabatnya sebelum melakukan
hijrah fisik, beliau telah berulang kali melaksanakan hijrah qalbiyah,
yaitu menjauhkan diri dari suasana kemusyrikan yang melanda masyarakat
ketika itu. Mereka menjauhkan diri agar tidak terpengaruh dari suasana
yang menyesatkan, dari tingkah laku kotor dan tekanan serta intimidasi.
Dengan cara-cara seperti tadi, mental para sahabat dapat bertahan dan
menjadi kuat, menjadi gigih dalam berjuang dan semakin teguh
pendiriannya.
Oleh karena itulah, tetkala mereka harus benar-benar melakukan hijrah
fisik, hati mereka tidak lagi merasa bimbang, karena hal demikian
bukanlah berarti lari menyelamatkan diri, bukan pula karena takut dalam
menghadapi musuh, tetapi mereka hijrah untuk mempertahankan perjuangan,
untuk menyampaikan risalah islamiyah. Mereka hijrah melanjutkan hijrah
qalbiyah yang sebelumnya telah pernah mereka lakukan dan sekaligus
sebagai bentuk realisasi untuk menengakkan kebenaran dan melaksanakan
akhlaq yang luhur.
HIJRAH DAN TATANAN MASYARAKAT BARU
Setelah sampai di Madinah, ada tiga aspek pokok yang dilakuan Rasulullah dalam rangka membangun tatanan masyarakat baru, yaitu;
Iqamat sya’airul Islam, yakni menegakkan syi’ar agama Islam. Sebagai
langkah yang dilakukan Nabi ini adalah mendirikan masjid Quba sebagai
tempat ibadah dan sebagai tempat mengatur dan menkoordinir
kegiatan-kegiatan lainnya.
Membangun ekonomi Islam dengan mepererat persaudaraan seagama atau
dikenal dengan nistilah mu’akhah al-islamiyah. Kehidupan ekonomi yang
tadinya serba egois, kapitalis, diganti dengan ekonomi persaudaraan yang
didasari oleh semangat sosial ukhuwah Islamiyah. Pedagang Muhajirin
yang datangnya dari Mekkah disatukan dengan petani-petani Anshor Madinah
untuk menegakkan susunan baru bagi tatanan perekonomian menurut ajaran
Islam.
Menetapkan peraturan-peraturan dasar negara yang disabut Kitabun Nabi
atau piagam tertulis dari Nabi. Para sarjana Barat menyebut piagam ini
sebagai Constitution of Madina (konstitusi Madinah). Piagam inilah yang
dianggap sebagai First constitution of Islam (Undang-undang negara
Islam yang pertama) atau the First Written Constitution on the World
(konstitusi pertama di dunia).