- Back to Home »
- RELIGION »
- Contoh Ceramah Ramadhan
GINCU, GARAM DAN SUSU
Ketiga benda tersebut di atas sangat dekat dengan kehidupan kita
sehari-hari, khususnya bagi kaum perempuan. Gincu, sekarang orang
menyebutnya lipstik, adalah salah satu jenis kosmetika yang dipergunakan
oleh sebahagian kaum perempuan sebagai penghias bibir. Warnanya umumnya
merah, atau warna lain yang lebih mencolok dan gampang terlihat.
Menurut penuturan perempuan yang sering memakai gincu, rasanya tidak
ada. Gincu hanya menempel di bibir pemakainya, tidak mempunyai rasa.
Walaupun nampak jelas ketika dipakai akan tetapi sipemakainya sendiri
justru tidak dapat melihat bagaimana gincu itu di bibirnya ketika
dipandang orang.
Garam, merupakan pemberi rasa asin terhadap makanan, hasil olahan dari
air laut. Harganya murah, akan tetapi sangat menentukan lezat-tidaknya
suatu hidangan. Garam ketika digunakan larut bersama makanan. Rasa
asinnya baru terasa apabila makanan yang dibumbuhi garam tersebut
dicicipi.
Perempuan ketika berdandan boleh tidak memakai gincu, akan tetapi
setiap orang kalau memasak harus membumbuhi masakannya dengan garam.
Ringkasnya gincu sebenarnya hanya pelengkap, sedangkan garam penentu
rasa.
Dalam kehidupan sehari-hari, terkadang di antara kita ada yang berbuat
dan melakukan aktifitasnya mengambil filsofi dari gincu dan garam! Yang
berfilosofi garam, mengutamakan dan mengedepankan aspek formalitas dan
popularitas dalam setiap aktifitasnya. Semua yang dia lakukan baik
secara pribadi maupun kolektif harus dapat dilihat dan disaksikan oleh
orang banyak sekedar untuk memperoleh pengakuan dan atau pujian,
kendatipun kemudian hanya sebatas show, tidak dapat memberi manfaat baik
bagi dirinya maupun bagi orang yang melihatnya. Yang penting apa yang
dia lakukan dapat dilihat dan disaksikan orang! Celakanya, banyak orang
yang justru terbuai oleh warna-warna ‘gincu’ yang ditonjolkan oleh
orang.
Sebaliknya, hanya sedikit di antara kita yang rela memegang filosofi
garam. Orang yang memegang filosofi garam, dalam berbuat dan
beraktifitas mementingkan manfaat apa yang dilakukan baik untuk dirinya
sendiri maupun bagi orang lain. Berbuat bagi orang tipe ini tidak harus
diketahui oleh orang lain, bahkan kalau perlu merahasiakan identitas
dalam berbuat baik, tetapi yang penting baginya ialah azaz manfaat pada
setiap perbuatannya.
Dalam bahasa agama Islam, orang yang berfilosofi gincu biasa disebut
riya’, yaitu sikap mental pamer dan ingin dipuji. Orang seperti ini
sangat berbahaya, berbuat hanya menginginkan popularitas dan mengabaikan
manfaat dari apa yang diperbuatnya. Allah swt. Dalam salah satu
hadisnya, Nabi Muhammad saw. menegaskan bahwa sikap mental riya
merupakan salah satu bentuk syirik:
‘’Sesungguhnya yang amat kutakuti dari segala hal atas kalian ialah
syirik kecil. Para sahabat bertanya. “Apakah syirik kecil itu ya
Rasulullah? Beliau menjawab: “Riya. Allah azza wa jalla akan berkata
kepada orang-orang yang riya kelak di hari kiamat: Pergilah kamu
sekalian kepada apa yang kamu jadikan bahan riya di dunia. Lihatlah apa
yang kamu semua memperoleh balasan dari mereka yang kepadanya kamu
memamerkan amalanmu?. Hadis riwayat Ahmad dan al-Baihaki.
Orang yang berfilosofi garam, dalam istilah agama Islam disebut ikhlas,
yaitu seseorang yang senantiasa berbuat berangkat dari motif yang lurus
tanpa mengharapkan imbalan dari hasil perbuatannya. Biasanya orang tipe
ini ketika berbuat kebajikan selalu berupaya menyembunyikan
perbuatannya, paling tidak mereka tidak menonjolkan perbuatannya itu,
namu perbuatan tersebut memberi manfaat baik terhadap dirinya maupun
terhadap masyarakat.
Agama kita menginginkan agar umatnya berperilaku sebagaimana filosofi
garam, yaitu tidak menampakkan diri dalam setiap aktifitasnya, tetapi
yang lebih penting manfaatnya. Bahkan penilaian Allah terhadap perbuatan
kita bukan pada apa yang tampak, melainkan motif yang ada dibalik
perbuatan kita itu. Nabi Muhammad saw. dalam hadisnya meyebtukan:
Sesungguhnya Allah swt. tidak menilai terhadap fisik dan penampilanmu,
melainkan kepada hati (niat) dan perbuatanmu. Hadis riwayat Imam Muslim.
Dari hadis ini nampak jelas bahwa Allah tidak menilai aspek formalitas
pada perbuatan kita, melainkan motif dasar munculnya perbuatan tersebut
serta manfaat perbuatan tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sudah muak dengan penampilan
orang-orang dan sekelompok orang yang sepintas bagai pahlawan, namun
kepahlawanannya tidak lebih dari penampilan gincu; terlalu banyak teori,
konsep dan program yang dikemukakan sekedar untuk menarik simpati
publik namun tidak ada realisasi. Orang berperilaku seperti ini tidak
menyadari bahwa formalisasi dan publikasi yang berlebihan tentang
‘kebajikan’ seseorang justru mengaburkan dan menghilangkan rasa
(manfaat) dari suatu perbuatan. Hanya sesaat dan tidak memberi rasa
apa-apa, dan hanya sedikit orang yang mau berbuat kebajikan tanpa
diketahui oleh orang lain.
Filosofi Susu
Susu, untuk kelompok elit (Ekonominya terliLIT, atau Ekonominya suLIT)
masih dipandang sebagai barang elit (mewah). Warnanya putih. Biasanya
dicampurkan bersama minuman atau makanan ekstra. Di minuman atau makanan
mana saja yang diberi susu, akan tampak warna dan rasa susu itu,
sekalipun sedikit.
Susu mungkin salah satu benda yang mewakili sikap pertengahan antara
filosofi gincu dan filosofi garam; semua orang menyebut susu itu enak!
Makanan dan minuman kalau diberi susu rasanya makin nikmat! Kalau
bercampur dengan makanan atau jenis minuman ia tidak kehilangan
identitasnya, melainkan turut mempengaruhi warna makanan/minuman di mana
ia ditambahkan. Itulah susu, selain keberadaannya bisa nampak, juga
dapat menambah rasa!
Alangkah indahnya hidup ini, apabila umat Islam bisa bermental susu;
bisa memperlezat kehidupan, mempengaruhi masyarakat dengan warna dan
rasanya, minimal mudah menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan tanpa
harus kehilangan identitas, dan yang paling penting keberadaannya
benar-benar dirasakan!
Al-Qur’an tidak menafikan bahwa mental susu itu memiliki pengaruh
positif, yaitu agar dapat diikuti oleh orang lain sekaligus mengajak
orang lain gemar melakukan sebagaimana yang telah dilakukannya, walaupun
dengan memperlihatkan amalan itu dapat mendekatkan kepada bahaya riya.
Oleh sebab itu, Allah swt. memberi pujian terhadap mental garam dan
mental susu, dengan mendahulukan mental susu dalam firman-Nya:
Jikalau kamu menampakkan sedekah-sedekahmua, maka itulah yang terbaik.
Tetapi jika kamu semua menyembunyikannya dan kamu berikan kepada fakir
miskin, maka itu lebih baik bagimu. QS. al-Baqarah (2): 271.
Agama Islam adalah agama kemanusiaan. Oleh karena itu, semua ketentuan
agama yang berbentuk perintah dan larangan semuanya bermuara pada
kepentingan manusia. Dengan demikian semua perbuatan kebajikan pun harus
dapat memberi manfaat kepada manusia dan bagi kepentingan kemanusiaan.
Kita bisa berbuat atas dasar agama tanpa harus memamerkan apatah lagi
mempublikasikan perbuatan baik tersebut. Perbuatan kita pun bisa
dirasakan oleh orang lain tanpa harus mengetahui siapa yang telah
melakukannya.
Memang ada hal-hal tertentu yang memungkinkan seseorang untuk
memperlihatkan (mempublikasikan) perbuatannya, yaitu untuk menjadi
contoh dan toladan bagi orang yang menyaksikannya. Bila suatu ketika
kita berbuat memperlihatkan perbuatan kita kepada orang lain dengan niat
agar menjadi contoh, maka kita telah membuat satu sunnah (tradisi
kebaikan). Yang demikian lebih baik ketimbang merahasiakannya.
Sehubungan dengan perbuatan kebajikan yang diperlihatkan kepada orang
lain dengan maksud agar dijadikan contoh, Nabi Muhammad saw. mengatakan:
Barang siapa yang melakukan suatu sunnah (tradisi perbuatan kebaikan
atau keburukan), maka ia akan memperoleh ganjaran (kebaikan atau
keburukannya) dan (ganjaan kebaikan atau keburukan) bagi setiap orang
yang mengikuti tradisi yang telah diperlihatkannya. Hadis riwayat
Muslim.
Wallahu A’lam bi al-Sawâb.