Selasa, 10 Juli 2012

GINCU, GARAM DAN SUSU
Ketiga benda tersebut di atas sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, khususnya bagi kaum perempuan. Gincu, sekarang orang menyebutnya lipstik, adalah salah satu jenis kosmetika yang dipergunakan oleh sebahagian kaum perempuan sebagai penghias bibir. Warnanya umumnya merah, atau warna lain yang lebih mencolok dan gampang terlihat. Menurut penuturan perempuan yang sering memakai gincu, rasanya tidak ada. Gincu hanya menempel di bibir pemakainya, tidak mempunyai rasa. Walaupun nampak jelas ketika dipakai akan tetapi sipemakainya sendiri justru tidak dapat melihat bagaimana gincu itu di bibirnya ketika dipandang orang.
Garam, merupakan pemberi rasa asin terhadap makanan, hasil olahan dari air laut. Harganya murah, akan tetapi sangat menentukan lezat-tidaknya suatu hidangan. Garam ketika digunakan larut bersama makanan. Rasa asinnya baru terasa apabila makanan yang dibumbuhi garam tersebut dicicipi.
Perempuan ketika berdandan boleh tidak memakai gincu, akan tetapi setiap orang kalau memasak harus membumbuhi masakannya dengan garam. Ringkasnya gincu sebenarnya hanya pelengkap, sedangkan garam penentu rasa.
Dalam kehidupan sehari-hari, terkadang di antara kita ada yang berbuat dan melakukan aktifitasnya mengambil filsofi dari gincu dan garam! Yang berfilosofi garam, mengutamakan dan mengedepankan aspek formalitas dan popularitas dalam setiap aktifitasnya. Semua yang dia lakukan baik secara pribadi maupun kolektif harus dapat dilihat dan disaksikan oleh orang banyak sekedar untuk memperoleh pengakuan dan atau pujian, kendatipun kemudian hanya sebatas show, tidak dapat memberi manfaat baik bagi dirinya maupun bagi orang yang melihatnya. Yang penting apa yang dia lakukan dapat dilihat dan disaksikan orang! Celakanya, banyak orang yang justru terbuai oleh warna-warna ‘gincu’ yang ditonjolkan oleh orang.
Sebaliknya, hanya sedikit di antara kita yang rela memegang filosofi garam. Orang yang memegang filosofi garam, dalam berbuat dan beraktifitas mementingkan manfaat apa yang dilakukan baik untuk dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Berbuat bagi orang tipe ini tidak harus diketahui oleh orang lain, bahkan kalau perlu merahasiakan identitas dalam berbuat baik, tetapi yang penting baginya ialah azaz manfaat pada setiap perbuatannya.
Dalam bahasa agama Islam, orang yang berfilosofi gincu biasa disebut riya’, yaitu sikap mental pamer dan ingin dipuji. Orang seperti ini sangat berbahaya, berbuat hanya menginginkan popularitas dan mengabaikan manfaat dari apa yang diperbuatnya. Allah swt. Dalam salah satu hadisnya, Nabi Muhammad saw. menegaskan bahwa sikap mental riya merupakan salah satu bentuk syirik:
‘’Sesungguhnya yang amat kutakuti dari segala hal atas kalian ialah syirik kecil. Para sahabat bertanya. “Apakah syirik kecil itu ya Rasulullah? Beliau menjawab: “Riya. Allah azza wa jalla akan berkata kepada orang-orang yang riya kelak di hari kiamat: Pergilah kamu sekalian kepada apa yang kamu jadikan bahan riya di dunia. Lihatlah apa yang kamu semua memperoleh balasan dari mereka yang kepadanya kamu memamerkan amalanmu?. Hadis riwayat Ahmad dan al-Baihaki.
Orang yang berfilosofi garam, dalam istilah agama Islam disebut ikhlas, yaitu seseorang yang senantiasa berbuat berangkat dari motif yang lurus tanpa mengharapkan imbalan dari hasil perbuatannya. Biasanya orang tipe ini ketika berbuat kebajikan selalu berupaya menyembunyikan perbuatannya, paling tidak mereka tidak menonjolkan perbuatannya itu, namu perbuatan tersebut memberi manfaat baik terhadap dirinya maupun terhadap masyarakat.
Agama kita menginginkan agar umatnya berperilaku sebagaimana filosofi garam, yaitu tidak menampakkan diri dalam setiap aktifitasnya, tetapi yang lebih penting manfaatnya. Bahkan penilaian Allah terhadap perbuatan kita bukan pada apa yang tampak, melainkan motif yang ada dibalik perbuatan kita itu. Nabi Muhammad saw. dalam hadisnya meyebtukan:
Sesungguhnya Allah swt. tidak menilai terhadap fisik dan penampilanmu, melainkan kepada hati (niat) dan perbuatanmu. Hadis riwayat Imam Muslim.
Dari hadis ini nampak jelas bahwa Allah tidak menilai aspek formalitas pada perbuatan kita, melainkan motif dasar munculnya perbuatan tersebut serta manfaat perbuatan tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sudah muak dengan penampilan orang-orang dan sekelompok orang yang sepintas bagai pahlawan, namun kepahlawanannya tidak lebih dari penampilan gincu; terlalu banyak teori, konsep dan program yang dikemukakan sekedar untuk menarik simpati publik namun tidak ada realisasi. Orang berperilaku seperti ini tidak menyadari bahwa formalisasi dan publikasi yang berlebihan tentang ‘kebajikan’ seseorang justru mengaburkan dan menghilangkan rasa (manfaat) dari suatu perbuatan. Hanya sesaat dan tidak memberi rasa apa-apa, dan hanya sedikit orang yang mau berbuat kebajikan tanpa diketahui oleh orang lain.
Filosofi Susu
Susu, untuk kelompok elit (Ekonominya terliLIT, atau Ekonominya suLIT) masih dipandang sebagai barang elit (mewah). Warnanya putih. Biasanya dicampurkan bersama minuman atau makanan ekstra. Di minuman atau makanan mana saja yang diberi susu, akan tampak warna dan rasa susu itu, sekalipun sedikit.
Susu mungkin salah satu benda yang mewakili sikap pertengahan antara filosofi gincu dan filosofi garam; semua orang menyebut susu itu enak! Makanan dan minuman kalau diberi susu rasanya makin nikmat! Kalau bercampur dengan makanan atau jenis minuman ia tidak kehilangan identitasnya, melainkan turut mempengaruhi warna makanan/minuman di mana ia ditambahkan. Itulah susu, selain keberadaannya bisa nampak, juga dapat menambah rasa!
Alangkah indahnya hidup ini, apabila umat Islam bisa bermental susu; bisa memperlezat kehidupan, mempengaruhi masyarakat dengan warna dan rasanya, minimal mudah menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan tanpa harus kehilangan identitas, dan yang paling penting keberadaannya benar-benar dirasakan!
Al-Qur’an tidak menafikan bahwa mental susu itu memiliki pengaruh positif, yaitu agar dapat diikuti oleh orang lain sekaligus mengajak orang lain gemar melakukan sebagaimana yang telah dilakukannya, walaupun dengan memperlihatkan amalan itu dapat mendekatkan kepada bahaya riya. Oleh sebab itu, Allah swt. memberi pujian terhadap mental garam dan mental susu, dengan mendahulukan mental susu dalam firman-Nya:
Jikalau kamu menampakkan sedekah-sedekahmua, maka itulah yang terbaik. Tetapi jika kamu semua menyembunyikannya dan kamu berikan kepada fakir miskin, maka itu lebih baik bagimu. QS. al-Baqarah (2): 271.
Agama Islam adalah agama kemanusiaan. Oleh karena itu, semua ketentuan agama yang berbentuk perintah dan larangan semuanya bermuara pada kepentingan manusia. Dengan demikian semua perbuatan kebajikan pun harus dapat memberi manfaat kepada manusia dan bagi kepentingan kemanusiaan. Kita bisa berbuat atas dasar agama tanpa harus memamerkan apatah lagi mempublikasikan perbuatan baik tersebut. Perbuatan kita pun bisa dirasakan oleh orang lain tanpa harus mengetahui siapa yang telah melakukannya.
Memang ada hal-hal tertentu yang memungkinkan seseorang untuk memperlihatkan (mempublikasikan) perbuatannya, yaitu untuk menjadi contoh dan toladan bagi orang yang menyaksikannya. Bila suatu ketika kita berbuat memperlihatkan perbuatan kita kepada orang lain dengan niat agar menjadi contoh, maka kita telah membuat satu sunnah (tradisi kebaikan). Yang demikian lebih baik ketimbang merahasiakannya. Sehubungan dengan perbuatan kebajikan yang diperlihatkan kepada orang lain dengan maksud agar dijadikan contoh, Nabi Muhammad saw. mengatakan:
Barang siapa yang melakukan suatu sunnah (tradisi perbuatan kebaikan atau keburukan), maka ia akan memperoleh ganjaran (kebaikan atau keburukannya) dan (ganjaan kebaikan atau keburukan) bagi setiap orang yang mengikuti tradisi yang telah diperlihatkannya. Hadis riwayat Muslim.
Wallahu A’lam bi al-Sawâb.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Translate

Yahoo Messenger !

free counters

Pages

- Copyright © Blog teknoku -Fahruzi Yuzi- Powered by Blogger - Designed by Fahruzi Yuzi -